Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota
Hiroshima dan
Nagasaki, Jepang, pada bulan Agustus 1945, tahap akhir
Perang Dunia Kedua. Dua operasi pengeboman yang menewaskan sedikitnya 129.000 jiwa ini merupakan penggunaan
senjata nuklir masa
perang untuk pertama dan terakhir kalinya dalam sejarah.
Pada tahun terakhir Perang Dunia II,
Sekutu bersiap-siap melancarkan
serbuan ke daratan Jepang yang memakan biaya besar. Amerika Serikat sebelumnya melaksanakan
kampanye pengeboman yang meluluhlantakkan banyak kota di Jepang.
Perang di Eropa selesai setelah
Jerman Nazi menandatangani
instrumen penyerahan diri pada tanggal
8 Mei 1945. Akan tetapi, Jepang menolak memenuhi tuntutan Sekutu untuk menyerah tanpa syarat.
Perang Pasifik pun berlanjut. Bersama Britania Raya dan
Cina, Amerika Serikat meminta pasukan Jepang menyerah dalam
Deklarasi Potsdam tanggal
26 Juli 1945 atau menghadapi "kehancuran cepat dan besar". Jepang
mengabaikan ultimatum tersebut.
Pada bulan Juli 1945,
Proyek Manhattan yang dirintis Sekutu berhasil melaksanakan
pengujian bom atom di gurun
New Mexico. Mereka memproduksi senjata nuklir berdasarkan dua rancangan pada bulan Agustus.
509th Composite Group dari
Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat dilengkapi dengan
Boeing B-29 Superfortress khusus versi
Silverplate yang mampu mengangkut bom nuklir dari
Tinian di
Kepulauan Mariana.
Tanggal
6 Agustus, A.S. menjatuhkan bom atom uranium
jenis bedil (
Little Boy) di
Hiroshima. Presiden Amerika Serikat
Harry S. Truman
meminta Jepang menyerah 16 jam kemudian dan memberi peringatan akan
adanya "hujan reruntuhan dari udara yang belum pernah terjadi sebelumnya
di muka bumi." Tiga hari kemudian, pada tanggal
9 Agustus, A.S. menjatuhkan bom plutonium
jenis implosi (
Fat Man) di
Nagasaki.
Dalam kurun dua sampai empat bulan pertama setelah pengeboman terjadi,
dampaknya menewaskan 90.000–146.000 orang di Hiroshima dan 39.000–80.000
di Nagasaki; kurang lebih separuh korban di setiap kota tewas pada hari
pertama. Pada bulan-bulan seterusnya, banyak orang yang tewas karena
efek luka bakar,
penyakit radiasi,
dan cedera lain disertai sakit dan kekurangan gizi. Di dua kota
tersebut, sebagian besar korban tewas merupakan warga sipil meskipun
terdapat garnisun militer besar di Hiroshima.
Tanggal
15 Agustus, enam hari setelah pengeboman Nagasaki dan
Uni Soviet menyatakan perang, Jepang menyatakan
menyerah kepada Sekutu. Tanggal
2 September, Jepang menandatangani
instrumen penyerahan diri yang otomatis mengakhiri Perang Dunia II. Pengaruh pengeboman ini terhadap penyerahan diri Jepang dan alasan etisnya masih
diperdebatkan sampai sekarang.
Latar belakang
Perang Pasifik
Pada tahun 1945,
Perang Pasifik antara
Kekaisaran Jepang dan
Sekutu
memasuki tahun keempat. Jepang melawan dengan sengit agar kemenangan
A.S. dihantui oleh jumlah korban yang besar. Dari 1,25 juta tentara
Amerika Serikat yang gugur pada
Perang Dunia II, termasuk
personel militer yang
gugur dalam tugas dan
cedera dalam tugas,
hampir satu juta tentara gugur dalam kurun waktu Juni 1944 sampai Juni
1945. Pada Desember 1944, jumlah tentara A.S. yang gugur mencapai angka
tertingginya, 88.000 tentara per bulan, akibat
Serangan Ardennes oleh Jerman. Di Pasifik, Sekutu
kembali ke Filipina,
merebut Myanmar, dan
menyerbu Borneo. Serangan dilancarkan untuk melenyapkan pasukan Jepang yang masih bercokol di
Bougainville,
Nugini, dan Filipina. Pada bulan April 1945, pasukan Amerika Serikat
mendarat di Okinawa
dan bertempur sengit sampai Juni. Seiring perang berlangsung, rasio
korban Jepang dan A.S. turun dari 5:1 di Filipina ke 2:1 di Okinawa.
Saat Sekutu terus merangsek ke Jepang, kondisi bangsa Jepang semakin
buruk. Tonase armada kapal dagang Jepang turun dari 5.250.000
ton bruto
pada tahun 1941 ke 1.560.000 ton pada Maret 1945, dan 557.000 ton bulan
Agustus 1945. Kelangkaan bahan mentah memaksa ekonomi perang Jepang
jatuh pada paruh akhir 1944. Ekonomi masyarakat yang melemah sepanjang
perang mencapai tingkat terparahnya pada pertengahan 1945. Ketiadaan
kapal juga memengaruhi armada nelayan. Pada tahun 1945, hasil tangkapan
ikan hanya 22% dari hasil tahun 1941. Panen beras tahun 1945 mencapai
jumlah terendah sejak 1909. Akibatnya, kelaparan dan kekurangan gizi
merebak di masyarakat. Produksi industri Amerika Serikat jauh lebih
unggul daripada industri Jepang. Pada tahun 1943, Amerika Serikat
memproduksi hampir 100.000 pesawat per tahun, berbeda denagn 70.000
pesawat yang diproduksi Jepang selama Perang Dunia II. Pada musim panas
1944, A.S. mengerahkan hampir seratus kapal induk di Pasifik, lebih
banyak daripada 25 kapal induk yang dimiliki Jepang sepanjang perang.
Bulan Februari 1945, Pangeran
Fumimaro Konoe memberitahu
Kaisar Hirohito bahwa kekalahan sudah tidak bisa dihindari lagi dan menyarankan Kaisar untuk turun takhta.
Persiapan penyerbuan Jepang
Sebelum
Jerman Nazi menyerah tanggal
8 Mei 1945, sejumlah rencana disiapkan untuk operasi terbesar dalam Perang Pasifik,
Operasi Downfall, yaitu penyerbuan Jepang. Operasi ini terbagi ke dalam dua bagian:
Operasi Olympic dan
Operasi Coronet. Keseluruhan operasi rencananya dimulai pada Oktober 1945. Olympic merupakan serangkaian pendaratan
Angkatan Darat Keenam A.S. untuk mencaplok sepertiga pulau besar Jepang di bagian selatan,
Kyūshū. Operasi Olympic dilanjutkan pada Maret 1946 oleh Operasi Coronet, pencaplokan
Dataran Kantō, dekat Tokyo di pulau
Honshū, oleh
Angkatan Darat Pertama,
Kedelapan, dan
Angkatan Darat Amerika Serikat Kesepuluh
A.S. Waktu tersebut dipilih agar semua sasaran Olympic tercapai,
tentara bisa dikirimkan dari Eropa, dan musim dingin Jepang cepat usai.
Poster Angkatan Darat A.S. yang mempersiapkan masyarakat untuk invasi Jepang setelah merampungkan perang di Jerman dan Italia
Geografi Jepang
membuat rencana invasi ini diketahui Jepang; mereka mampu memprediksi
rencana invasi Sekutu secara akurat dan menyesuaikan rencana pertahanan
mereka,
Operasi Ketsugō. Jepang merencanakan pertahanan Kyūshū secara habis-habisan tanpa menyisakan cadangan untuk operasi pertahanan selanjutnya. Empat divisi veteran ditarik dari
Tentara Kwantung di
Manchuria pada Maret 1945 untuk memperkuat pasukan di Jepang,
dan 45 divisi baru diaktifkan antara bulan Februari dan Mei 1945.
Sebagian besar divisi tersebut merupakan divisi imobil untuk pertahanan
pesisir, tetapi 16 lainnya merupakan divisi mobil berpengalaman tinggi. Secara keseluruhan, 2,3 juta tentara
Angkatan Darat Jepang disiapkan untuk mempertahankan pulau-pulau besar Jepang. Mereka dibantu oleh 28 juta
milisi sipil pria dan wanita. Perkiraan korban bervariasi namun sangat tinggi. Wakil Kepala
Staf Umum Angkatan Laut Kekaisaran Jepang,
Wakil Laksamana Takijirō Ōnishi, memperkirakan bahwa jumlah warga Jepang yang tewas bisa mencapai 20 juta jiwa.
Penelitian tanggal
15 Juni 1945 yang dilakukan oleh Joint War Plans Committee,
[14] penyampai informasi perencanaan ke
Kepala Staf Gabungan,
memperkirakan bahwa Olympic akan mengorbankan antara 130.000 sampai
220.000 tentara A.S., 25.000 sampai 46.000 di antaranya gugur. Hasil
penelitian disampaikan pada tanggal
15 Juni 1945
setelah menerima hasil Pertempuran Okinawa. Penelitian tersebut
menyoroti pertahanan Jepang yang lemah karena pemblokiran laut yang
sangat efektif dan kampanye pengeboman oleh Amerika Serikat.
Kepala Staf Angkatan Darat Amerika Serikat,
Jenderal George Marshall, dan Komandan Angkatan darat di Pasifik, Jenderal
Douglas MacArthur, menandatangani dokumen persetujuan perkiraan Joint War Plans Committee.
Amerika Serikat dikejutkan oleh penumpukan pasukan Jepang yang terlacak oleh intelijen
Ultra.
Menteri Perang Henry L. Stimson sangat khawatir dengan perkiraan jumlah korban tentara A.S. sehingga ia menugaskan
Quincy Wright dan
William Shockley untuk melakukan penelitian terpisah. Wright dan Shockley berbicara dengan Kolonel
James McCormack dan
Dean Rusk, dan mempelajari perkiraan korban yang disampaikan
Michael E. DeBakey
dan Gilbert Beebe. Wright dan Shockley memperkirakan bahwa jumlah
korban di sisi Sekutu mencapai antara 1,7 dan 4 juta jiwa bila
skenarionya seperti itu, 400.000 sampai 800.000 di antaranya gugur,
sedangkan korban di sisi Jepang mencapai antara 5 sampai 10 juta jiwa.
Marshall mulai mempertimbangkan penggunaan senjata yang "sudah siap
dipakai dan pasti mampu mengurangi jumlah tentara Amerika yang gugur":
gas beracun.
Fosgen,
gas mustar,
gas air mata, dan
sianogen klorida dalam jumlah besar dipindahkan ke
Luzon dari gudang senjata di Australia dan Nugini sebagai bagian dari persiapan Operasi Olympic. MacArthur menjamin bahwa satuan
Chemical Warfare Service sudah terlatih untuk menggunakannya. Penggunaan
senjata biologis di Jepang turut dipertimbangkan.
Serangan udara di Jepang
Pesawat B-29 di langit Osaka tanggal 1 Juni 1945
Ketika Amerika Serikat mengembangkan rencana kampanye udara terhadap
Jepang sebelum Perang Pasifik, pencaplokan pangkalan Sekutu di Pasifik
Barat pada beberapa pekan pertama konflik Pasifik menandakan bahwa
serangan udara baru dimulai pada pertengahan 1944 setelah
Boeing B-29 Superfortress siap dikerahkan ke ajang pertempuran.
Operasi Matterhorn melibatkan pemindahan pesawat-pesawat B-29 yang berpangkalan di India ke pangkalan di sekitar
Chengdu, Cina, untuk persiapan penyerangan target-target strategis di Jepang.
Upaya tersebut gagal memenuhi tujuan strategis yang dikehendaki para
perumus rencana karena permasalahan logistik, kesulitan mekanis pesawat
pengebom, kerentanan pangkalan persiapan di Cina, dan jarak tempuh yang
jauh menuju kota-kota di Jepang.
Brigadir Jenderal Pasukan Udara Angkatan Darat Amerika Serikat (USAAF)
Haywood S. Hansell menetapkan bahwa
Guam,
Tinian, dan
Saipan di
Kepulauan Mariana cocok dijadikan pangkalan B-29, namun saat itu masih dikuasai Jepang. Strategi pun diganti agar sesuai dengan perang udara, dan
kepulauan tersebut direbut kembali antara Juni dan Agustus 1944. Beberapa pangkalan udara dibangun, dan B-29 diterbangkan dari Kepulauan Mariana bulan Oktober 1944. Pangkalan-pangkalan tersebut dapat disuplai oleh kapal kargo tanpa hambatan.
XXI Bomber Command memulai misi penyerangan Jepang pada tanggal
18 November 1944.
Usaha awal untuk mengebom Jepang dari Kepulauan Mariana sama tidak efektifnya seperti B-29 di Cina. Hansell melanjutkan operasi
pengeboman tepat berketinggian tinggi yang menyasar industri penting dan jaringan transportasi sekalipun taktik ini tidak berdampak besar.
Usaha ini gagal karena kesulitan logistik dengan pangkalan yang jauh,
masalah teknis yang dialami pesawat baru dan canggih, cuaca yang tidak
bersahabat, dan perlawanan musuh.
[31]
Operation Meetinghouse meratakan Tokyo pada malam tanggal 9–10 Maret 1945; serangan udara paling mematikan sepanjang Perang Dunia II;
[33]
wilayah yang hangus jauh lebih luas dan jumlah korban tewas jauh lebih
banyak daripada pengeboman nuklir Hiroshima atau Nagasaki.
[34][35]
Pengganti Hansell,
Mayor Jenderal Curtis LeMay,
menjadi komandan operasi pada Januari 1945 dan pada awalnya masih
meneruskan taktik pengeboman tepat yang sama dengan hasil yang tidak
memuaskan pula. Serangan tersebut awalnya menargetkan fasilitas industri
penting, tetapi sebagian besar proses produksi Jepang dilakukan di
bengkel-bengkel kecil dan rumah warga. Di bawah tekanan markas USAAF di Washington, LeMay mengganti taktik dan memutuskan bahwa
pengeboman bakar
tingkat rendah di perkotaan Jepang merupakan satu-satunya cara untuk
menghancurkan kemampuan produksi mereka; beralih dari pengeboman tepat
ke
pengeboman wilayah dengan bom bakar.
Seperti kebanyakan
pengeboman strategis pada Perang Dunia II,
tujuan serangan USAAF di Jepang adalah menghancurkan industri perang
musuh, membunuh atau melumpuhkan warga sipil yang dipekerjakan oleh
industri perang, dan
menurunkan moral sipil. Warga sipil yang terlibat dalam
upaya perang lewat berbagai aktivitas seperti pembangunan
benteng dan produksi munisi dan material perang lainnya di pabrik dan bengkel dianggap sebagai
kombatan secara hukum dan pantas diserang.
Selama enam bulan selanjutnya, XXI Bomber Command di bawah pimpinan LeMay mengebom 67 kota di Jepang.
Pengeboman Tokyo, atau
Operation Meetinghouse, tanggal 9–10 Maret menewaskan sekitar 100.000 orang dan menghancurkan perkotaan seluas 16 square mile (41 km
2)
dan 267.000 bangunan dalam satu malam saja. Operasi ini merupakan
pengeboman paling mematikan sepanjang Perang Dunia II. Sebanyak 20 B-29
ditembak jatuh oleh meriam flak dan pesawat tempur.
Pada bulan Mei, 75% bom yang dijatuhkan merupakan bom bakar yang
dirancang untuk membakar "kota kertas" Jepang. Pada pertengahan Juni,
enam kota terbesar di Jepang telah diluluhlantakkan.
Berakhirnya pertempuran di Okinawa bulan itu memberikan Sekutu
kesempatan untuk memanfaatkan pangkalan udara yang letaknya lebih dekat
dengan pulau-pulau utama Jepang. Kampanye pengeboman pun ditingkatkan.
Pesawat yang terbang dari
kapal induk Sekutu dan
Kepulauan Ryukyu secara rutin menyasar target-target di Jepang sepanjang 1945 menjelang Operasi Downfall.
Pengeboman dialihkan ke kota-kota kecil yang dihuni 60.000 sampai
350.000 jiwa. Menurut Yuki Tanaka, A.S. mengebom lebih dari seratus kota
di Jepang.
[43] Serangan-serangan tersebut juga mematikan.
Militer Jepang tidak mampu menghentikan serangan Sekutu dan persiapan
pertahanan sipil
Jepang tidak cukup kuat. Pesawat tempur dan senjata antipesawat Jepang
sulit menyasar pesawat pengebom yang terbang sangat tinggi. Sejak April 1945, pesawat penyergap Jepang harus menghadapi pesawat tempur pengawal Amerika Serikat yang berpangkalan di
Iwo Jima dan Okinawa. Pada bulan itu,
Pasukan Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan
Pasukan Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang berhenti menyergap pesawat Sekutu supaya masih ada pesawat tempur yang tersisa menjelang invasi.
Pada pertengahan 1945, Jepang mengurangi frekuensi penyergapan B-29
yang melakukan pengintaian di Jepang untuk menghemat bahan bakar. Pada Juli 1945, Jepang menimbun 1,156,000 US barrel (137,800,000 l; 36,400,000 US gal; 30,300,000 imp gal)
avgas untuk persiapan penyerbuan Jepang.
Meski militer Jepang memutuskan untuk melanjutkan serangan terhadap
pesawat pengebom Sekutu sebelum bulan Juni berakhir, pesawat tempur yang
beroperasi saat itu sudah sangat sedikit sehingga tidak sempat berganti
taktik untuk mencegah serangan udara Sekutu.
Pengembangan bom atom
Penemuan
fisi nuklir oleh kimiawan Jerman
Otto Hahn dan
Fritz Strassmann tahun 1938 dan penjelasan teorinya oleh
Lise Meitner dan
Otto Frisch memungkinkan terjadinya pengembangan bom atom. Kekhawatiran bahwa
proyek bom atom Jerman akan menghasilkan senjata atom pertama di dunia tercantum dalam
surat Einstein-Szilard.
Para ilmuwan yang mengungsi dari Jerman Nazi dan negara-negara fasis
lainnya juga sama khawatirnya. Sentimen tersebut mendorong pelaksaaan
penelitian pertama di Amerika Serikat pada akhir 1939. Pengembangan baru melesat setelah
MAUD Committee dari Britania Raya melaporkan pada akhir 1941 bahwa sebuah bom hanya membutuhkan 5–10 kilogram
uranium-235 yang sudah mengalami pengayaan isotop daripada berton-ton uranium yang tidak dikayakan (
unenriched) disertai moderator neutron (e.g. air berat).
Bekerja sama dengan Britania Raya dan Kanada yang masing-masing memiliki proyek
Tube Alloys dan
Chalk River Laboratories,
[54][55] Proyek Manhattan, di bawah arahan Mayor Jenderal
Leslie R. Groves, Jr., dari
Korps Teknisi Angkatan Darat A.S., merancang dan membangun bom atom pertama di dunia. Groves menunjuk
J. Robert Oppenheimer sebagai pelaksana dan kepala
Los Alamos Laboratory di New Mexico, tempat bom atom tersebut dirancang. Dua jenis bom berhasil dikembangkan.
Little Boy adalah
senjata fisi jenis bedil yang mmengandung
uranium-235,
isotop uranium langka yang dibuat di
Clinton Engineer Works di
Oak Ridge, Tennessee.
Fat Man adalah
senjata nuklir jenis implosi yang lebih kuat dan efisien namun lebih rumit yang mengandung
plutonium,
unsur sintetis yang dibuat di sejumlah
reaktor nuklir di
Hanford, Washington. Senjata implosi uji coba,
The Gadget, diledakkan di
Trinity Site, dekat
Alamogordo, New Mexico, pada tanggal
16 Juli 1945.
Jepang juga memiliki
program senjata nuklir sendiri,
tetapi kekurangan sumber daya manusia, mineral, dan pendanaan seperti
Proyek Manhattan, dan tidak pernah membuat kemajuan dalam pengembangan
bom atom.
Persiapan
Penyusunan rencana dan pelatihan
509th Composite Group dibentuk pada tanggal
9 Desember 1944 dan diaktifkan tanggal
17 Desember 1944 di
Wendover Army Air Field, Utah, di bawah pimpinan
Kolonel Paul Tibbets.
[61] Tibbets ditugaskan untuk menyusun dan memimpin
kelompok tempur
untuk mengembangkan cara menjatuhkan senjata atom di target-target di
Jerman dan Jepang. Karena skadronnya terbagi menjadi pesawat pengebom
dan pesawat angkut, kelompok ini digolongkan sebagai satuan "komposit"
alih-alih satuan "pengebom".
[62]
Bekerja sama dengan Proyek Manhattan di Los Alamos, Tibbets memilih Wendover sebagai pangkalan pelatihannya alih-alih
Great Bend, Kansas, dan
Mountain Home, Idaho, karena letaknya yang terpencil. Setiap pesawat pengebom melaksanakan sedikitnya 50 latihan menjatuhkan
bom labu palsu atau aktif. Tibbets kemudian menyatakan bahwa pasukan terbangnya siap tempur.
[64]
"Kepala Gabungan Tinian": Kapten William S. Parsons (kiri), Laksamana
Muda William R. Purnell (tengah), dan Brigadir Jenderal Thomas F.
Farrell (kanan)
509th Composite Group terdiri atas 225 perwira resmi dan 1.542
prajurit resmi; hampir semuanya kelak dikerahkan ke Tinian. Selain
personel resmi, 509th Composite Group menempatkan 51 warga sipil dan
personel militer dari
Project Alberta di Tinian yang diberi nama 1st Technical Detachment.
Skadron Pengeboman ke-393, bagian dari 509th Composite Group, dilengkapi dengan 15 pesawat B-29
Silverplate. Pesawat ini telah disesuaikan untuk mengangkut senjata nuklir dan dilengkapi dengan mesin yang
diinjeksi bahan bakar,
baling-baling dorongan terbalik Curtiss Electric, aktuator pneumatik untuk membuka dan menutup pintu ruang bom dengan cepat, dan pemutakhiran lainnya.
Pasukan pendukung darat dari 509th Composite Group dikirimkan menggunakan kereta api pada tanggal
26 April 1945, ke tempat pemberangkatannya di
Seattle, Washington. Pada tanggal
6 Mei, pasukan pendukung berlayar dengan SS
Cape Victory menuju Kepulauan Mariana, sedangkan materialnya dikirimkan menggunakan SS
Emile Berliner.
Cape Victory berhenti sejenak di
Honolulu dan
Eniwetok,
tetapi penumpangnya tidak diizinkan keluar dari wilayah pelabuhan.
Pasukan pendahulu yang terdiri atas 29 perwira dan 61 prajurit
diterbangkan dengan C-54 ke
North Field di Tinian antara tanggal
15 Mei dan
22 Mei.
[68]
Ada pula dua perwakilan dari Washington, D.C.,
Brigadir Jenderal Thomas Farrell, wakil komandan Proyek Manhattan, dan
Laksamana Muda William R. Purnell dari Military Policy Committee. Mereka bertugas memutuskan urusan kebijakan yang lebih tinggi di tempat. Bersama Kapten
William S. Parsons, komandan Project Alberta, mereka dikenal dengan sebutan "Kepala Gabungan Tinian".
Penentuan target
Rute misi tanggal 6 dan 9 Agustus, dan letak kota Hiroshima, Nagasaki, dan
Kokura (target awal tanggal 9 Agustus).
Pada bulan April 1945, Marshall meminta Groves memberi target-target
pengeboman agar disetujui dirinya dan Stimson. Groves membentuk Target
Committee yang dipimpin Marshall sendiri beranggotakan Farrell, Mayor
John A. Derry,
Kolonel William P. Fisher, Joyce C. Stearns, dan
David M. Dennison dari USAAF; dan ilmuwan
John von Neumann,
Robert R. Wilson, dan
William Penney dari Proyek Manhattan. Target Committee mengadakan rapat di Washington tanggal
27 April; di Los Alamos tanggal
10 Mei, tempat pertemuan antara komite, ilmuwan, dan teknisi di sana; dan di Washington lagi tanggal
28 Mei, tempat pertemuan komite dengan Tibbets dan
Komandan Frederick Ashworth dari Project Alberta, serta penasihat ilmiah Proyek Manhattan,
Richard C. Tolman.
Target Committee mencalonkan lima target:
Kokura, tempat berdirinya salah satu pabrik munisi terbesar di Jepang;
Hiroshima, tempat pemberangkatan dan pusat industri yang dijadikan markas militer besar;
Yokohama, daerah perkotaan yang menjadi tempat produksi pesawat, peralatan mesin, kapal, perangkat listrik, dan penyulingan minyak; dan
Kyoto, pusat industri besar. Pemilihan target memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
- Diameter target lebih besar daripada 3 mil (4.8 km) dan merupakan target penting yang terletak di wilayah perkotaan besar.
- Ledakannya akan menghasilkan kerusakan yang efektif.
- Target kemungkinan besar belum diserang pada Agustus 1945.[72]
Sebagian besar kota-kota ini tak tersentuh oleh operasi pengeboman
malam, dan Pasukan Udara Angkatan Darat setuju untuk menghapusnya dari
daftar target sehingga penilaian keefektifan senjata dapat dibuat secara
tepat. Hiroshima disebut sebagai "depot pasukan dan tempat
pemberangkatan penting yang terletak di wilayah industri perkotaan.
[Hiroshima] merupakan target radar yang baik dan ukurannya cukup besar
sehingga sebagian besar kota mungkin rusak parah. Terdapat perbukitan di
sekitarnya yang memungkinkan efek pemusatan ledakan sehingga potensi
kerusakan semakin besar. Karena ada sungai, [Hiroshima] bukan target
bom bakar yang tepat."
[72]
Target Committee menyatakan bahwa, "Kami menyepakati bahwa faktor
psikologis dalam penentuan target merupakan hal penting. Dua faktor
tersebut adalah (1) memperoleh dampak psikologis terbesar untuk melawan
Jepang dan (2) membuat penjatuhan bom pertama semantap mungkin sehingga
kehebatan senjata ini dapat diakui oleh dunia internasional setelah
berita [tentang pengeboman ini] terbit. Kyoto pantas karena merupakan
pusat industri militer yang penting sekaligus pusat pendidikan sehingga
penduduknya dapat memahami kehebatan senjata ini.
Istana Kekaisaran di Tokyo lebih terkenal daripada target-target lain, tetapi nilai strategisnya rendah."
[72]
Edwin O. Reischauer, pakar Jepang di
Dinas Intelijen Angkatan Darat A.S., konon katanya mencegah pengeboman Kyoto.
[72] Dalam otobiografinya, Reischauer membantah klaim tersebut:
... satu-satunya orang yang berhak mendapat
pengakuan karena mencegah pengeboman Kyoto adalah Henry L. Stimson,
Menteri Perang waktu itu, yang mengenal baik dan menyukai Kyoto sejak ia
berbulan madu di sana sekian puluh tahun sebelumnya.
[74]
Pada tanggal
30 Mei,
Stimson meminta Groves menghapus Kyoto dari daftar target karena
memiliki warisan sejarah, agama, dan budaya, tetapi Groves hanya melihat
objek militer dan industrinya. Stimson lalu berbincang dengan
Presiden Harry S. Truman perihal masalah ini. Truman setuju dengan Stimson, dan Kyoto pun sementara dihapus dari daftar target. Groves berusaha memasukkan kembali Kyoto ke daftar target pada bulan Juli, tetapi Stimson bersikukuh dengan pendapatnya. Tanggal
25 Juli,
Nagasaki menggantikan tempat Kyoto di dalam daftar target. Perintah serangan diserahkan ke Jenderal
Carl Spaatz pada tanggal
25 Juli dengan tanda tangan Jenderal
Thomas T. Handy, pelaksana tugas Kepala Staf, karena Marshall sedang menghadiri
Konferensi Potsdam bersama Truman. Pada hari itu, Truman menulis di diarinya bahwa:
Senjata ini akan digunakan untuk melawan Jepang
mulai hari ini sampai 10 Agustus. Saya sudah memberitahu Menteri Perang,
[Henry] Stimson, untuk menyasar objek militer, tentara, dan pelaut,
bukan wanita dan anak-anak. Sekalipun orang Jepang itu barbar, kejam,
tanpa ampun, dan fanatik, kita sebagai pemimpin dunia tidak boleh
menjatuhkan bom yang mengerikan itu di ibu kota lama [Kyoto] maupun yang
baru [Tokyo] demi kesejahteraan bersama. Dia dan saya sepakat. Target
kita adalah militer.
[80]
Rencana demonstrasi
Pada awal Mei 1945, Stimson membentuk
Interim Committee atas desakan kepala Proyek Manhattan dan memberi saran tentang
tenaga nuklir atas persetujuan Truman. Pada rapat tanggal
31 Mei dan
1 Juni, ilmuwan
Ernest Lawrence menyarankan pelaksanaan demonstrasi non-tempur di Jepang.
Arthur Compton kemudian mengatakan bahwa:
Jelas sekali bahwa semua orang akan menduga mereka
telah ditipu. Bila sebuah bom diledakkan di Jepang setelah duluan
diberitahu, angkatan udara Jepang bisa melakukan penyerobotan
besar-besaran. Bom atom adalah alat yang rumit dan masih dalam tahap
pengembangan. Operasinya pasti tidak rutin. Jika pasukan Jepang
memutuskan untuk menyerang pada tahap penyesuaian bom terakhir, tindakan
keliru akan menggagalkan seluruh rencana. Berakhirnya demonstrasi
kehebatan bom justru lebih buruk daripada pembatalan pengeboman.
Sekarang sudah jelas bahwa ketika waktu penjatuhan bom telah tiba, kita
perlu menyediakan satu bom saja, lalu dilanjutkan oleh bom-bom lain
dengan jeda waktu yang panjang. Kita tidak boleh membiarkan kemungkinan
bahwa salah satu bom tersebut gagal meledak. Jika uji coba dilakukan di
daerah netral, militer Jepang yang bertekad tinggi dan fanatik mungkin
tidak akan terpukau. Jika uji coba terbuka dilakukan dan gagal membuat
Jepang menyerah, peluang kejutan yang efektif justru akan hilang.
Sebaliknya, uji coba terbuka malah akan mempersiapkan Jepang untuk
menyerobot serangan atom semampu mereka. Meski demonstrasi yang tidak
memakan korban jiwa sangat menarik, tidak ada cara alternatif yang dapat
membuat demonstrasi begitu meyakinkan sehingga mampu mengakhiri [Perang
Dunia II].
Rencana demonstrasi diperkenalkan lagi dalam
Laporan Franck yang diterbitkan oleh fisikawan
James Franck pada tanggal
11 Juni dan Scientific Advisory Panel menolak laporannya pada tanggal
16 Juni.
Panel penasihat mengatakan bahwa, "kami merasa demonstrasi teknis tidak
dapat mengakhiri perang; kami tidak melihat alternatif yang layak
selain penjatuhan bom secara langsung di target militer." Franck
kemudian mengirimkan laporannya ke Washington, D.C. Interim Committee
kemudian mengadakan rapat tanggal
21 Juni
untuk menilai kembali kesimpulan awalnya. Komite kemudian menegaskan
bahwa tidak ada alternatif selain menjatuhkan bom di target militer.
Seperti Compton, banyak pejabat dan ilmuwan A.S. yang berpendapat
bahwa demonstrasi akan menghilangkan nilai kejut serangan atom, dan
Jepang akan membantah efek mematikan dari bom atom sehingga misi Sekutu
tidak akan membuat Jepang menyerah.
Tahanan perang
Sekutu bisa saja dipindahkan ke tempat demonstrasi dan tewas akibat
ledakan bom. Mereka juga khawatir bahwa bomnya akan gagal karena bom
yang dipakai di Trinity bersifat stasioner, tidak dijatuhkan dari
langit. Selain itu, hanya dua bom yang siap pakai pada awal Agustus
meskipun masih banyak bom lain yang sedang diproduksi. Pembuatan bom itu
sendiri memakan biaya miliaran dolar, jadi demonstrasi satu bom saja
sudah sangat mahal.
[86]
Selebaran
Selebaran seperti ini disebarkan di Jepang. Isinya nama 12 kota di
Jepang yang menjadi target pengeboman bakar. Di balik selebaran terdapat
tulisan "kami tidak dapat menjamin bahwa hanya kota-kota ini saja yang
akan diserang ..."
Selama beberapa bulan, A.S. telah menjatuhkan lebih dari 63 juta
selebaran di seluruh Jepang yang berisi peringatan serangan udara kepada
warga sipil. Banyak kota di Jepang yang mengalami kerusakan parah
akibat pengeboman udara; sekitar 97% wilayah perkotaan luluh lantak.
LeMay mengira bahwa selebaran akan meningkatkan dampak pengeboman secara
psikologis dan mengurangi stigma internasional mengenai pengeboman
kota. Meski sudah diberi peringatan,
penolakan perang oleh warga Jepang
tetap tidak efektif. Rakyat Jepang mempercayai isi selebaran tersebut,
tetapi siapapun yang ketahuan menyimpannya akan ditangkap.
[87] Teks selebaran disiapkan oleh tahanan perang Jepang karena mereka lebih pantas "untuk memohon kepada sesama prajuritnya".
Sebagai persiapan penjatuhan bom atom di Hiroshima, pemimpin militer
A.S. memutuskan untuk menolak demonstrasi pengeboman dan selebaran
peringatan karena bomnya belum tentu meledak dan memaksimalkan
kejutan psikologis. Hiroshima tidak diberitahu bahwa bom baru dengan kemampuan menghancurkan yang lebih kuat akan dijatuhkan di sana. Berbagai sumber memberi informasi berbeda seputar selebaran terakhir yang dijatuhkan di Hiroshima sebelum pengeboman atom.
Robert Jay Lifton menulis bahwa selebaran terakhir disebar tanggal
27 Juli, dan Theodore H. McNelly mencantumkan tanggal
3 Juli. Sejarah USAAF menyebutkan bahwa sebelas kota tercantum dalam selebaran tanggal
27 Juli, tetapi Hiroshima bukan salah satu kota tersebut, dan tidak ada penyebaran selebaran pada
30 Juli. Penyebaran selebaran dilaksanakan pada tanggal
1 Agustus dan
4 Agustus.
Selebaran mungkin saja disebarkan di Hiroshima pada akhir Juli atau
awal Agustus karena korban selamat menyebutkan adanya penyebaran
selebaran beberapa hari sebelum bom atom dijatuhkan. Salah satu selebaran mencantumkan dua belas kota yang ditargetkan oleh pengeboman bakar:
Otaru,
Akita,
Hachinohe,
Fukushima,
Urawa,
Takayama,
Iwakuni,
Tottori,
Imabari,
Yawata,
Miyakonojo, dan
Saga. Hiroshima tidak masuk daftar tersebut.
[92]
Deklarasi Potsdam
Truman menunda penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi Potsdam
selama dua minggu agar bom bisa diuji coba sebelum perundingan dengan
Stalin dimulai.
Uji Coba Trinity tanggal
16 Juli melebihi harapan semua orang. Pada tanggal
26 Juli, para pemimpin negara Sekutu menandatangani
Deklarasi Potsdam yang mencantumkan syarat penyerahan diri Jepang. Deklarasi ini dibuat sebagai
ultimatum
dan menyatakan bahwa tanpa penyerahan diri, Sekutu akan menyerang
Jepang sehingga mengakibatkan "kemusnahan angkatan bersenjata Jepang
secara total dan tak terhindarkan dan kehancuran tanah air Jepang yang
juga tak terhindarkan". Bom atom tidak disebutkan dalam komunike
tersebut. Tanggal
28 Juli, koran-koran Jepang melaporkan bahwa deklarasi tersebut ditolak oleh pemerintah Jepang. Sore itu juga,
Perdana Menteri Suzuki Kantarō menyatakan dalam konferensi pers bahwa Deklarasi Potsdam hanyalah tiruan (
yakinaoshi)
Deklarasi Kairo dan pemerintah Jepang akan mengabaikannya (
mokusatsu, "membunuh dengan mendiamkan").
[96]
Pernyataan tersebut ditafsirkan oleh media Jepang dan asing sebagai
penolakan deklarasi secara terang-terangan. Kaisar Hirohito yang sedang
menunggu respon Soviet atas ajakan perdamaian Jepang tidak mengambil
tindakan untuk mengubah sikap pemerintah.
Jepang baru mau menyerah asalkan kekaisaran tidak dibubarkan; Jepang
tidak diduduki; angkatan bersenjata Jepang dibubarkan secara sukarela;
dan para penjahat perang diadili di pengadilan Jepang.
Menurut
Perjanjian Quebec
tahun 1943 dengan Britania Raya, Amerika Serikat sepakat bahwa senjata
nuklir tidak akan dijatuhkan di negara lain tanpa persetujuan bersama.
Pada Juni 1945, kepala
British Joint Staff Mission,
Marsekal Lapangan Sir
Henry Maitland Wilson, setuju bahwa penggunaan senjata nuklir di Jepang akan dicatat secara resmi sebagai keputusan
Combined Policy Committee. Di Potsdam, Truman menyetujui permintaan
Winston Churchill bahwa Britania akan diwakili saat bom atom dijatuhkan. William Penney dan
Kapten Kelompok Leonard Cheshire
diutus ke Tinian, namun mereka mengetahui bahwa LeMay tidak akan
mengizinkan mereka ikut terbang dalam misi pengeboman. Hal yang bisa
mereka lakukan adalah mengirim sinyal jelas ke Wilson.
Bom
Bom Little Boy, kecuali muatan uraniumnya, selesai dibuat pada awal Mei 1945. Proyektil uranium-235 selesai dibuat tanggal
15 Juni, dan targetnya dibuat tanggal
24 Juli. Target dan bom pra-rakitan (bom yang separuh dirakit tanpa komponen fisi) diberangkatkan dari
Hunters Point Naval Shipyard, California, pada tanggal
16 Juli menggunakan
kapal jelajah USS Indianapolis dan tiba di tempat tujuan tanggal
26 Juli. Isi target diterbangkan pada tanggal
30 Juli.
Inti plutonium pertama dan
inisiator urchin polonium-
beriliumnya dipindahkan menggunakan peti barang berbahan magnesium yang dirancang oleh
Philip Morrison di bawah pengawasan kurir Project Alberta,
Raemer Schreiber. Magnesium dipilih karena tidak
merusak inti plutonium. Inti bom diangkut menggunakan pesawat
C-54 milik
320th Troop Carrier Squadron, bagian 509th Composite Group, dari
Kirtland Army Air Field pada tanggal
26 Juli dan tiba North Field tanggal
28 Juli. Tiga peledak pra-rakitan Fat Man berkekuatan tinggi (F31, F32, dan F33) diangkut di Kirtland pada tanggal
28 Juli
oleh tiga pesawat B-29 dari 393d Bombardment Squadron plus satu pesawat
dari 216th Army Air Force Base Unit dan diberangkatkan ke North Field.
Ketiga peledak tiba pada tanggal
2 Agustus.
Hiroshima
Hiroshima pada Perang Dunia II
Pada hari pengeboman, Hiroshima merupakan kota penting dari segi
industri maupun militer. Beberapa satuan militer berpangkalan di dekat
Hiroshima, termasuk markas
Angkatan Darat Umum Kedua pimpinan
Marsekal Lapangan Shunroku Hata. Angkatan Darat Umum Kedua memimpin pertahanan Jepang bagian selatan, dan bermarkas di
Istana Hiroshima.
Hata membawahkan kurang lebih 400.000 prajurit, sebagian besar di
antaranya ditempatkan di Kyushu untuk mengantisipasi serbuan Sekutu. Di kota ini juga terdapat markas
Angkatan Darat ke-59,
Divisi ke-5, dan
Divisi ke-224, satuan mobil yang baru dibentuk. Kota ini dilindungi oleh lima bateri
senjata antipesawat
7-cm dan 8-cm (2,8 dan 3,1 inci) dari Divisi Antipesawat ke-3, termasuk
unit dari Resimen Antipesawat ke-121 dan 122 dan Batalyon Antipesawat
Terpisah ke-22 dan 45. Secara keseluruhan, lebih dari 40.000 personel
militer ditempatkan di Hiroshima.
Hiroshima adalah pangkalan suplai dan logistik militer Jepang berukuran kecil, namun arsenal militernya besar.
[110] Kota ini juga merupakan pusat komunikasi, pelabuhan penting, dan tempat berkumpulnya tentara. Hiroshima adalah kota terbesar kedua di Jepang setelah Kyoto yang masih bertahan meski diserang berkali-kali. Alasannya, Hiroshima tidak punya industri pesawat yang menjadi target utama XXI Bomber Command. Pada tanggal
3 Juli, Kepala Staf Gabungan menghapus Hiroshima, Kokura, Niigata, dan Kyoto dari jalur pesawat pengebom.
Pusat kota dipadati oleh bangunan
beton berkerangka
dan bangunan berstruktur ringan. Wilayah di luar pusat kota dipadati
oleh bengkel kecil berbahan kayu yang tersebar di antara rumah-rumah
Jepang. Pabrik terletak di pinggiran kota. Rumah di Hiroshima terbuat
dari kayu dengan atap tanah liat. Banyak pula bangunan industri yang
berkerangka kayu. Seluruh wilayah perkotaan Hiroshima rentan terbakar.
Sebelum pengeboman atom, populasi Hiroshima mencapai puncaknya sebanyak 381.000 jiwa, lalu perlahan turun karena
evakuasi sistematis yang dilaksanakan pemerintah Jepang. Saat serangan terjadi, jumlah penduduk Hiroshima 340.000–350.000 jiwa.
[114] Penduduk heran karena Hiroshima tidak menjadi target pengeboman bakar.
Sejumlah pihak menduga bahwa kota ini hendak dijadikan markas
pendudukan Amerika Serikat. Ada pula yang menduga bahwa kerabat mereka
di Hawaii dan California meminta pemerintah A.S. untuk tidak mengebom
Hiroshima. Pejabat pemerintah kota memerintahkan penghancuran beberapa bangunan untuk menciptakan
pemecah api berukuran panjang pada tahun 1944. Pemecah api terus diperluas dan diperpanjang sampai pagi tanggal
6 Agustus 1945.
Pengeboman
Hiroshima adalah target utama misi pengeboman nuklir pertama pada tanggal
6 Agustus; Kokura dan Nagasaki menjadi target alternatif. Setelah diberi maklumat sesuai
Operations Order No. 35, pesawat B-29
Enola Gay
dari 393d Bombardment Squadron yang dipiloti Tibbets lepas landas dari
North Field, Tinian, menuju Jepang dengan masa tempuh enam jam.
Enola Gay (diambil dari nama ibu Tibbets) dikawal oleh dua pesawat B-29.
The Great Artiste, di bawah pimpinan Mayor
Charles Sweeney, mengangkut instrumen, sedangkan
Necessary Evil yang saat itu belum diberi nama, di bawah pimpinan Kapten George Marquardt, bertugas sebagai perekam foto.
[119]
Foto darat yang direkam oleh Seizo Yamada kurang lebih 7 km (4.3 mil) di timur laut Hiroshima
Foto awan bom atom Hiroshima yang ditemukan di Sekolah Dasar Honkawa
tahun 2013. Foto ini diyakini diambil ±30 menit setelah ledakan dari
jarak 10 km (6.2 mil) di sebelah timur hiposentrum
Setelah meninggalkan Tinian, pesawat terbang di atas Iwo Jima untuk
menjemput pesawat Sweeney dan Marquardt pukul 05:55 di ketinggian 9,200
feet (2,800 m),
dan melanjutkan penerbangan ke Jepang. Pesawat tiba di target
pengeboman dengan cuaca cerah di ketinggian 31,060 feet (9,470 m).
Parsons, pemimpin misi, mengaktifkan bom di udara untuk mengurangi
risiko saat lepas landas. Ia pernah melihat langsung empat B-29 jatuh
dan terbakar saat lepas landas dan khawatir ledakan nuklir akan terjadi
bila B-29 yang mengangkut Little Boy jatuh. Asistennya,
Letnan Kedua Morris R. Jeppson, mencabut pengaman bom 30 menit sebelum tiba di target pengeboman.
[124]
Pada malam tanggal 5–6 Agustus, radar peringatan awal Jepang melacak
penerbangan sejumlah pesawat Amerika Serikat yang mengarah ke Jepang
bagian selatan. Radar melacak 65 pesawa pengebom ke arah Saga, 102 ke
Maebashi, 261 ke
Nishinomiya, 111 ke
Ube,
dan 66 ke Imabari. Sirene serangan udara dinyalakan dan siaran radio
dihentikan di sejumlah kota, termasuk Hiroshima. Sirene kondusif
dinyalakan di Hiroshima pukul 00:05. Sekitar satu jam sebelum pengeboman, sirene serangan udara dinyalakan kembali ketika
Straight Flush terbang di atas kota. Pesawat ini mengirimkan pesan singkat yang diterima
Enola Gay. Pesan tersebut berisi: "Sebaran awan kurang dari 3/10 di semua ketinggian. Saran: bom utama." Sirene kondusif dinyalakan lagi di Hiroshima pukul 07:09.
Pada pukul 08:09, Tibbets memulai misinya dan menyerahkan kendali pesawat ke perwira pengebomnya, Mayor
Thomas Ferebee.
Bom dilepaskan pukul 08:15 (waktu Hiroshima) sesuai rencana. Little Boy
yang mengangkut kurang lebih 64 kg (141 lb) uranium-235 memerlukan 44,4
detik untuk jatuh dari ketinggian jelajah 31,000 feet (9,400 m) menuju
ketinggian ledakan 1,900 feet (580 m) di atas kota.
[131] Enola Gay terbang sejauh 11.5 mil (18.5 km) sebelum diterjang gelombang kejut yang dihasilkan ledakan.
[132]
Karena
angin samping, bom meleset dari
titik acuannya,
Jembatan Aioi, sejauh kira-kira 800 ft (240 m) dan meledak pas di atas
Klinik Bedah Shima di
34,39468°LU 132,45462°BT. Ledakannya setara dengan 16
kilotons of TNT (67 TJ), ± 2 kt. Senjata ini
dianggap sangat tidak efisien karena hanya 1,7% material bom yang mengalami fisi.
[134] Radius kehancuran total mencapai 1 mil (1.6 km), sedangkan radius kebakarannya mencapai 4.4 square mile (11 km
2).
[135]
Orang-orang di darat melaporkan melihat
pika atau kilau cahaya terang yang diikuti
don, bunyi dentuman keras.
Sekitar 70.000–80.000 orang, 20.000 di antaranya tentara, atau 30%
penduduk Hiroshima tewas akibat ledakan dan kebakaran pascaledakan,
[137][138] dan 70.000 orang sisanya cedera.
[139]
Peristiwa di darat
Sejumlah bangunan beton bertulang di Hiroshima dibangun dengan sangat
kuat karena faktor gempa bumi di Jepang, dan kerangkanya tidak runtuh
meski letaknya dekat dengan pusat ledakan. Karena bom meledak di udara,
ledakan lebih terpusat ke bawah alih-alih ke samping sehingga
menyelamatkan
Aula Pameran Industri Prefektur, sekarang dikenal dengan nama kubah
Genbaku (A-bomb). Gedung ini dirancang dan dibangun oleh arsitek Ceko,
Jan Letzel, dan terletak 150 m (490 ft) dari titik nol. Reruntuhan gedung diberi nama
Tugu Perdamaian Hiroshima dan terdaftar sebagai
Situs Warisan Dunia
UNESCO pada tahun 1996 meski ditentang Amerika Serikat dan Cina. Kedua
negara beralasan bahwa justru negara-negara Asia selain Jepanglah yang
mengalami korban jiwa dan kehancuran properti terbesar dalam Perang
Dunia II, dan penganugerahan penghargaan UNESCO kepada Jepang tidak
memiliki dasar sejarah.
[140]
Amerika Serikat memperkirakan bahwa 4.7 square mile (12 km
2)
wilayah kota Hiroshima hancur. Pejabat pemerintah Jepang memperkirakan
bahwa 69% bangunan di Hiroshima rata dengan tanah dan 6–7% bangunan
mengalami kerusakan.
[141]
Pengeboman atom memicu kebakaran yang menyebar cepat lewat rumah-rumah
berbahan kayu dan kertas. Seperti kota-kota lainnya di Jepang, pemecah
api gagal mencegah kebakaran.
Pengeboman Hiroshima |
|
Dampak pengeboman atom di Hiroshima
|
|
Potongan baju yang dikenakan korban mengakibatkan luka bakar pada kulit
|
|
Eizō Nomura adalah korban selamat yang diketahui paling dekat dengan
ledakan bom. Ia saat itu berada di bawah tanah gedung beton bertulang
(disebut
Rest House setelah perang) yang berjarak 170 metre (560 ft) dari
titik nol (
hiposentrum).
[143][144] Ia hidup sampai usia 80 tahunan.
[145][146]
Akiko Takakura merupakan salah satu korban selamat yang paling dekat
dengan hiposentrum ledakan. Ia saat itu berada di gedung Bank Hiroshima
yang berjarak 300 meter (980 ft) dari titik nol.
[147]
Lebih dari 90% dokter dan 93% perawat di Hiroshima tewas atau
terluka. Sebagian besar dari mereka sedang berada di pusat kota, wilayah
yang paling parah kerusakannya.
[148] Banyak rumah sakit hancur atau rusak parah. Hanya satu dokter, Terufumi Sasaki, yang masih bertugas di Red Cross Hospital.
Meski situasinya demikian, kepolisian dan relawan mendirikan pusat
evakuasi di rumah sakit, sekolah, dan stasiun trem pada sore hari. Kamar
mayat didirikan di perpustakaan Asano.
Sebagian besar pasukan markas Angkatan Darat Umum Kedua Jepang sedang
menjalani latihan fisik di lapangan Istana Hiroshima, sekitar 900 yard
(820 m) dari hiposentrum. Serangan tersebut menewaskan 3.243 tentara di
lapangan ini.
Ruang komunikasi Markas Distrik Militer Chugoku yang bertugas
mengeluarkan dan menyalakan sirene serangan udara terletak di semi-bawah
tanah istana. Yoshie Oka, siswi Sekolah Menengah Atas Perempuan
Hijiyama yang ditugaskan sebagai petugas komunikasi di sana, mengirimkan
pesan bahwa alarm telah dinyalakan di Hiroshima dan Yamaguchi ketika
bom meledak. Ia memakai telepon khusus untuk memberitahu Markas
Fukuyama bahwa, "Hiroshima telah diserang oleh sebuah bom jenis baru. Hampir seluruh kota ini mengalami kehancuran total."
[151]
Karena Walikota
Senkichi Awaya tewas saat sedang sarapan bersama putra dan cucunya di kediaman walikota, Marsekal Lapangan
Hata,
meski sedikit terluka, mengambil alih pemerintahan kota dan memimpin
pengiriman bantuan. Banyak stafnya yang tewas atau cedera parah,
termasuk seorang pangeran Korea dari Dinasti
Joseon,
Yi Wu, yang menjabat sebagai letnan kolonel Angkatan Darat Jepang.
[153]
Staf senior Hata yang selamat adalah Kolonel Kumao Imoto; ia ditugaskan
sebagai kepala staf Hata. Pelabuhan Ujina Hiroshima tidak mengalami
kerusakan, dan tentara Jepang mengerahkan
kapal bunuh diri untuk mencegah serbuan Amerika Serikat, mengangkut korban cedera, dan membawa mereka ke rumah sakit militer di Ujina. Truk dan kereta membawa persediaan bantuan dan mengungsikan korban selamat dari kota.
Dua belas penerbang Amerika Serikat dipenjara di Markas Kepolisian Militer Chugoku, 1,300 feet (400 m) dari hiposentrum ledakan.
[155]
Sebagian besar dari mereka tewas seketika, walaupun ada dua penerbang
yang kabarnya telah dieksekusi. Dua penerbang lainnya yang terluka parah
ditinggalkan di pinggir Jembatan Aioi oleh
Kempei Tai, lalu ditimpuk batu sampai tewas.
Laporan selanjutnya menunjukkan bahwa 8 tahanan perang A.S. yang
dikabarkan tewas akibat ledakan bom justru kenyataannya ditahan di
Istana Hiroshima dan telah dieksekusi sebagai bagian dari program
eksperimen kedokteran sebelum pengeboman atom terjadi.
[157]
Kabar pengeboman di Jepang
|
|
|
Hiroshima sebelum dibom.
|
|
Hiroshima setelah dibom.
|
Operator kendali
NHK
di Tokyo melihat bahwa stasiun Hiroshima menghentikan siarannya. Ia
mencoba menyambungkan lagi program NHK menggunakan kabel telepon lain,
tetapi gagal.
[158]
Sekitar 20 menit kemudian, pusat telegraf kereta api Tokyo menyadari
bahwa telegraf jalur utama berhenti tersambung di sebelah utara
Hiroshima. Dari sejumlah stasiun kereta kecil yang berjarak 16 km
(10 mil) dari kota, muncul berbagai laporan tak resmi dan
sepotong-potong mengenai ledakan mengerikan di Hiroshima. Semua laporan
tersebut dikirimkan ke markas
Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
[159]
Berbagai pangkalan militer mencoba menghubungi Stasiun Kendali
Angkatan Darat di Hiroshima berkali-kali. Sambungan sunyi dari kota ini
membingungkan Staf Umum; mereka tahu bahwa tidak ada serangan musuh
besar-besaran di sana dan tidak ada arsenal peledak besar di Hiroshima
pada waktu itu. Seorang perwira muda ditugaskan untuk terbang ke
Hiroshima, mendarat, mengamati kerusakan yang ada, dan pulang ke Tokyo
membawa informasi utuh. Mereka merasa bahwa tidak ada kejadian serius di
sana dan ledakan yang dilaporkan hanya kabar burung semata.
[159]
Perwira staf berangkat ke bandara dan terbang ke arah barat daya.
Setelah terbang selama tiga jam, ia bersama pilotnya melihat awan asap
yang sangat besar dari jarak 160 km (100 mil) dari Hiroshima. Seusai
berputar-putar di atas kota untuk mengamati kerusakan, mereka mendarat
di selatan kota. Ia mulai mengatur tindakan penyelamatan setelah melapor
ke Tokyo. Dugaan awal Tokyo bahwa Hiroshima luluh lantak akibat bom
jenis baru disampaikan lewat pengumuman Presiden Truman enam belas jam
kemudian.
[159]
Peristiwa 7–9 Agustus
Selebaran AB12
[160]
berisikan informasi mengenai bom Hiroshima dan peringatan untuk warga
sipil agar meminta Kaisar menyerah disebarkan di Jepang pada tanggal
9 Agustus[160] oleh 509th Composite Group. Meski tidak dikenali oleh mereka, secarik selebaran AB11 masih disimpan di
Museum Bom Atom Nagasaki.
[161]
Setelah pengeboman Hiroshima, Truman mengeluarkan pengumuman
penggunaan senjata baru. Ia menyatakan, "Kami bersyukur atas takdir
Tuhan" karena
proyek bom atom Jerman
telah digagalkan, dan Amerika Serikat beserta sekutunya telah
"menghabiskan dua miliar dolar dalam pertaruhan ilmu pengetahuan
terbesar sepanjang sejarah—dan [kami] menang." Truman kemudian
memperingatkan Jepang: "Bila mereka enggan menerima tuntutan kita,
kebinasaan akan menghujani mereka dari udara, kebinasaan yang belum
pernah terjadi di muka Bumi ini. Serangan udara ini akan diikuti
serangan laut dan darat dengan besaran dan kemampuan yang belum pernah
mereka lihat seumur hidup dengan keahlian tempur yang mereka ketahui
dengan sangat baik."
[162]
Pemerintah Jepang tidak bereaksi. Kaisar
Hirohito, pemerintah, dan dewan perang mempertimbangkan empat syarat penyerahan diri:
kokutai (lembaga kekaisaran dan
politas nasional) tidak dibubarkan; Markas Kekaisaran menjadi pihak yang melaksanakan pelucutan senjata dan demobilisasi;
Kepulauan Utama Jepang, Korea, atau
Formosa tidak diduduki; dan pemerintah Jepang menjadi pihak yang mengadili para penjahat perang.
Menteri Luar Negeri Soviet
Vyacheslav Molotov memberitahu Tokyo bahwa Uni Soviet akan melakukan pelanggaran
Pakta Kenetralan Soviet–Jepang secara sepihak tanggal
5 Agustus. Pukul dua belas malam lewat dua menit tanggal
9 Agustus waktu Tokyo, infanteri, kendaraan lapis baja, dan angkatan udara Soviet dikerahkan dalam
Operasi Serangan Strategis Manchuria.
Empat jam kemudian, Tokyo menerima kabar pernyataan perang Uni Soviet.
Perwira senior Angkatan Darat Jepang bersiap-siap memberlakukan
darurat militer di seluruh Jepang atas dukungan Menteri Perang
Korechika Anami untuk mencegah upaya perdamaian.
Pada tanggal
7 Agustus, sehari setelah Hiroshima dihancurkan, Dr.
Yoshio Nishina
dan fisikawan atom lainnya tiba di sana dan menilai kerusakan dengan
hati-hati. Mereka kembali ke Tokyo dan memberitahu kabinet pemerintah
bahwa Hiroshima dihancurkan oleh bom atom. Laksamana
Soemu Toyoda,
Kepala Staf Umum Angkatan Laut, memperkirakan bahwa hanya satu atau dua
bom yang disiapkan Amerika Serikat. Mereka memutuskan untuk siap-siap
diserang lagi: "Kehancuran akan terus berdatangan, namun perang akan
terus berjalan."
Pemecah sandi Magic dari Amerika Serikat merekam pesan kabinet tersebut.
Purnell, Parsons, Tibbets, Spaatz, dan LeMay bertemu di Guam pada hari yang sama untuk membahas tindakan selanjutnya. Karena tidak ada indikasi penyerahan diri Jepang, mereka memutuskan untuk menjatuhkan satu bom lagi. Parsons mengatakan bahwa Project Alberta akan menyiapkannya pada
11 Agustus,
tetapi Tibbets menyerahkan laporan cuaca yang menunjukkan buruknya
kondisi terbang pada tanggal itu akibat badai. Ia meminta agar bom bisa
disiapkan pada tanggal
9 Agustus. Parsons menyanggupi permintaan Tibbets.
Nagasaki
Saya menyadari tragisnya bom atom itu ... [Bom
atom] adalah beban mengerikan yang diamanahkan kepada kita ... Kita
bersyukur bahwa [bom atom] jatuh di tangan kita, bukan musuh kita; dan
kita berharap agar Tuhan menuntun kita semua untuk menggunakannya di
jalan yang diberkati-Nya dan ditakdirkan-Nya.
Nagasaki pada Perang Dunia II
Kota Nagasaki merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Jepang
selatan dan menjadi kota penting semasa perang karena memiliki banyak
aktivitas industri, termasuk produksi artileri, kapal, perlengkapan
militer, dan material perang lainnya. Empat perusahaan terbesar di kota
ini adalah Galangan Kapal
Mitsubishi,
Galangan Kapal Listrik Mitsubishi, Pabrik Senjata Mitsubishi, dan
Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi. Keempat perusahaan ini mempekerjakan
sekitar 90% tenaga kerja di Nagasaki dan mencakup 90% industri di kota
ini.
[171]
Meski tergolong kota industri yang penting, Nagasaki tidak diterjang
bom bakar karena letak geografisnya membuat kota ini sulit dilacak oleh
radar
AN/APQ-13.
Tidak seperti kota target lainnya, Nagasaki tidak dikeluarkan dari
jalur pesawat pengebom sesuai surat perintah Kepala Staf Gabungan
tanggal
3 Juli dan dibom kecil-kecilan sebanyak lima kali. Dalam serangan tanggal
1 Agustus,
sejumlah bom konvensional berkekuatan tinggi dijatuhkan di kota ini.
Beberapa bom menghantam galangan kapal dan dok di selatan kota, dan
beberapa lainnya menghantam Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi.
[171]
Pada awal Agustus, kota ini dilindungi oleh Resimen Antipesawat ke-134
dari Divisi Antipesawat ke-4 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Mereka
dilengkapi empat bateri senjata antipesawat 7 cm (2.8 in) dan dua bateri
senter besar.
Berbeda dengan Hiroshima, hampir semua bangunan di Nagasaki bergaya
Jepang lama, terbuat dari kayu atau berkerangka kayu dengan dinding kayu
(dengan atau tanpa plaster), dan beratapkan tanah liat. Banyak industri
dan usaha kecil didirikan di bangunan kayu atau material lain yang
tidak mampu menahan ledakan. Nagasaki dibiarkan berkembang tanpa
penataan kota yang layak; permukiman didirikan di dekat pabrik dan
permukiman lainnya sepadat mungkin di seluruh lembah industri Nagasaki.
Pada hari pengeboman, sekitar 263.000 orang sedang berada di Nagasaki,
termasuk 240.000 penduduk Jepang, 10.000 penduduk Korea, 2.500 pekerja
Korea, 9.000 tentara Jepang, 600 pekerja Cina, dan 400 tahanan perang
Sekutu di perkemahan di sebelah utara Nagasaki.
[173]
Pengeboman
Penentuan waktu pengeboman kedua menjadi tugas Tibbets. Serangan Kokura awalnya dijadwalkan pada
11 Agustus, lalu digeser dua hari lebih awal untuk menghindari lima hari prakiraan cuaca buruk mulai
10 Agustus. Tiga pra-rakitan bom telah diangkut ke Tinian (F-31, F-32, dan F-33). Pada tanggal
8 Agustus, latihan pengeboman dilakukan di lepas pantai Tinian oleh Sweeney menggunakan pesawat pengebom
Bockscar. Rakitan F-33 dipakai untuk menguji komponennya, dan F-31 dipakai untuk misi tanggal
9 Agustus.
Misi Khusus 16, target kedua Nagasaki, 9 Agustus 1945
Pesawat |
Pilot |
Kode panggil |
Tugas misi |
Enola Gay |
Kapten George W. Marquardt |
Dimples 82 |
Pemantauan cuaca (Kokura) |
Laggin' Dragon |
Kapten Charles F. McKnight |
Dimples 95 |
Pemantauan cuaca (Nagasaki) |
Bockscar |
Mayor Charles W. Sweeney |
Dimples 77 |
Pengiriman senjata |
The Great Artiste |
Kapten Frederick C. Bock |
Dimples 89 |
Instrumentasi pengukuran ledakan |
Big Stink |
Mayor James I. Hopkins, Jr. |
Dimples 90 |
Pengamatan dan fotografi ledakan |
Full House |
Mayor Ralph R. Taylor |
Dimples 83 |
Serangan cadangan—tidak menyelesaikan misi |
Pada pukul 03:49 tanggal
9 Agustus 1945,
Bockscar,
diterbangkan oleh awak Sweeney, mengangkut Fat Man ke target utama
(Kokura) dan target kedua (Nagasaki). Rencana misi serangan kedua hampir
sama seperti misi Hiroshima: dua pesawat B-29 terbang satu jam
sebelumnya untuk memantau cuaca dan dua B-29 terbang mengawal Sweeney
untuk instrumentasi dan perekaman foto misi. Sweeney lepas landas
membawa bom yang sudah diaktifkan dengan pengaman listrik.
[178]
Perintah serangan pengeboman Nagasaki tanggal 8 Agustus 1945
Semasa inspeksi pra-penerbangan
Bockscar, teknisi penerbangan memberitahu Sweeney bahwa pompa bahan bakar yang tidak aktif membuat
Bockscar
tidak mungkin mengangkut 640 US gallon (2,400 l; 530 imp gal) bahan
bakar di dalam tangki cadangan. Bahan bakar tersebut masih harus dibawa
ke Jepang dan dikembalikan sehingga memakan bahan bakar lebih banyak.
Mengganti pompa membutuhkan waktu berjam-jam; memindahkan Fat Man ke
pesawat lain juga membutuhkan waktu yang lama dan berbahaya karena
bomnya aktif. Tibbets dan Sweeney memutuskan untuk melanjutkan misi
dengan pesawat
Bockscar.
[180]
Kali ini, Penney dan Cheshire diizinkan mengawal misi ini sebagai pemantau di pesawat ketiga,
Big Stink,
yang diterbangkan oleh perwira operasi kelompok, Mayor James I.
Hopkins, Jr. Pemantau di pesawat cuaca melaporkan bahwa cuaca di kedua
kota target cerah. Saat pesawat Sweeney tiba di titik kumpul untuk
persiapan terbang ke pesisir Jepang,
Big Stink tidak ada.
[178]
Menurut Cheshire, Hopkins berada terbang 9,000 feet (2,700 m) lebih
tinggi daripada ketinggian seharusnya dan tidak terbang berputar di atas
Yakushima seperti yang sudah disepakati bersama Sweeney dan Kapten
Frederick C. Bock; Bock menerbangkan pesawat pendukung B-29
The Great Artiste. Hopkins malah terbang dengan pola melengkung sejauh 40-mil (64 km). Meski diperintahkan untuk tidak terbang memutar lebih dari lima belas menit, Sweeney terus menunggu
Big Stink atas usulan Ashworth, operator senjata pesawat yang memimpin misi ini.
Awan atom di atas Nagasaki
Setelah melewati batas waktu keberangkatan selama setengah jam,
Bockscar, ditemani
The Great Artiste,
melanjutkan penerbangan ke Kokura dengan waktu tempuh tiga puluh menit.
Penundaan di titik kumpul mengakibatkan terbentuknya awan di Kokura
disertai asap bekas serangan pengeboman bakar oleh 224 B-29 di
Yahata sehari sebelumnya. Selain itu, Pabrik Baja Yawata sengaja membakar
tar batu bara agar menghasilkan asap hitam.
[183]
Awan dan asap menutupi 70% wilayah Kokura dan mengaburkan titik acuan
bom. Tiga penerbangan pengeboman dilaksanakan selama 50 menit
selanjutnya, membuang bahan bakar, dan memicu penyerangan armada pesawat
oleh pasukan pertahanan Yawata, namun pesawat pengebom tidak dapat
melihat target penjatuhan bom. Pada penerbangan pengeboman ketiga,
tembakan senjata antipesawat Jepang semakin dekat, dan Letnan Kedua
Jacob Beser yang saat itu sedang mengawasi komunikasi Jepang melaporkan adanya aktivitas lewat pita radio pesawat tempur Jepang.
Seusai melakukan tiga penerbangan pengeboman di atas kota dengan
bahan bakar rendah akibat kegagalan pompa, mereka terbang ke target
kedua, Nagasaki.
[178] Perhitungan konsumsi bahan bakar di tengah perjalanan menunjukkan bahwa
Bockscar tidak akan mampu mencapai Iwo Jima dan harus terbang ke
Okinawa.
Awalnya mereka memutuskan bahwa apabila Nagasaki tidak terlihat saat
mereka tiba, awak pesawat akan menerbangkan bomnya ke Okinawa dan
menjatuhkannya di laut bila perlu. Ashworth kemudian memutuskan untuk
mengambil pendekatan radar apabila target tidak terlihat.
[185]
Sekitar pukul 07:50 waktu Jepang, sirene serangan udara dinyalakan di
Nagasaki. Sirene kondusif dinyalakan pukul 08:30. Ketika hanya dua B-29
Superfortress terlihat pukul 10:53, Jepang berasumsi bahwa kedua
pesawat tersebut sedang dalam misi pengintaian dan tidak menyalakan
sirene lagi.
Nagasaki sebelum dan sesudah dibom
Beberapa menit kemudian pada pukul 11:00,
The Great Artiste menjatuhkan instrumen yang dilengkapi tiga parasut. Instrumen-instrumen ini berisi surat tak bertanda tangan kepada Profesor
Ryokichi Sagane, fisikawan
Universitas Tokyo yang belajar bersama tiga ilmuwan pencipta bom atom di
Universitas California, Berkeley. Surat tersebut berisi permohonan kepada Sagane untuk memperingatkan masyarakat tentang bahaya
senjata pemusnah massal. Pesan tersebut ditemukan oleh militer, tetapi baru diserahkan kepada Sagane satu bulan kemudian. Pada tahun 1949, salah satu penulis surat tersebut,
Luis Alvarez, bertemu Sagane dan menandatanganinya.
[188]
Pukul 11:01, jeda di antara awan di langit Nagasaki memungkinkan perwira pengebom
Bockscar, Kapten
Kermit Beahan, melihat target bom sesuai rencana. Bom Fat Man yang mengandung inti
plutonium berbobot 6.4 kg (14 lb) dijatuhkan di lembah industri Nagasaki di
32,77372°LU 129,86325°BT. Bom meledak 47 detik kemudian di ketinggian 1,650 ± 33 ft (503 ± 10 m) di atas lapangan tenis,
separuh jalan antara Pabrik Baja dan Senjata Mitsubishi di selatan dan
Arsenal Nagasaki di utara. Ledakan terjadi hampir 3 km (1.9 mil) di
sebelah barat laut target awal. Ledakan tersebut dibatasi oleh
Lembah Urakami, dan sebagian besar kota dilindungi oleh lembah di sekitarnya. Ledakan bom setara dengan 21 ± 2 kt (87.9 ± 8.4 TJ) dan menghasilkan panas bersuhu 3,900 °C (7,050 °F) serta angin kencang berkecepatan 1,005 km/h (624 mph).
[191]
Big Stink melihat ledakan dari jarak seratus mil dan terbang ke arah Nagasaki untuk melihat lebih dekat. Karena penundaan misi dan kegagalan pompa bahan bakar,
Bockscar tidak memiliki bahan bakar yang cukup untuk mendarat darurat di Iwo Jima, jadi Sweeney dan Bock terbang ke
Okinawa.
Setibanya di sana, Sweeney terbang memutar selama 20 menit untuk
meminta izin pendaratan dari menara pengawas. Ia lalu menyadari bahwa
radionya rusak. Dengan bahan bakar kritis,
Bockscar berhasil mendarat di
Lapangan Terbang Yontan, Okinawa. Dengan bahan bakar untuk sekali upaya pendaratan, Sweeney dan Albury mendaratkan
Bockscar
dengan kecepatan 150 miles per hour (240 km/h) alih-alih kecepatan
normal 120 miles per hour (190 km/h) dan menembakkan suar bahaya untuk
memberitahu awak darat mengenai pendaratan mendadak. Saat
Bockscar
melakukan pendekatan ke landasan, mesin nomor dua mati karena kehabisan
bahan bakar. Setelah mendarat keras, pesawat B-29 tersebut oleng ke
kiri menuju barisan pesawat pengebom B-24 sebelum pilot berhasil
mengendalikannya. Baling-baling terbalik B-29 tidak mampu memperlambat
pesawat, dan karena kedua pedal rem sama-sama ditekan,
Bockscar
berbelok 90 derajat di ujung landasan agar tidak tergelincir keluar
landasan. Ketika pesawat berhenti, mesin kedua sudah mati akibat
kekosongan bahan bakar. Teknisi penerbangan lalu mengukur bahan bakar di
tangki dan menunjukkan bahwa bahan bakar yang tersisa cukup untuk
terbang kurang dari lima menit.
Setelah misi dilaksanakan, identifikasi pesawat mulai dipertanyakan. Saksi mata pertama, wartawan perang
William L. Laurence dari
New York Times yang ikut menumpang pesawat Bock, melaporkan bahwa Sweeney adalah pemimpin misi di
The Great Artiste. Ia juga menulis bahwa nomor "Victor"-nya adalah 77, nomornya
Bockscar, dan sejumlah personel berkomentar bahwa 77 adalah nomor baju pemain rugbi
Red Grange.
[194] Laurence telah duluan mewawancarai Sweeney dan awaknya dan tahu bahwa mereka menyebut pesawatnya
The Great Artiste. Kecuali
Enola Gay,
tak satupun B-29 milik 393d yang namanya dicat di hidung pesawat;
informasi ini ditulis dalam kesaksian Laurence. Tak menyadari perubahan
pesawat, Laurence menduga Victor 77 adalah
The Great Artiste, padahal sebenarnya Victor 89.
Peristiwa di darat
Foto cedera punggung
Sumiteru Taniguchi yang diambil bulan Januari 1946 oleh fotografer Marinir A.S.
Meski bom ini lebih kuat daripada bom di Hiroshima, dampaknya dibatasi oleh perbukitan di Lembah Urakami yang sempit.
Dari 7.500 karyawan Jepang yang bekerja di Pabrik Munisi Mitsubishi,
termasuk pelajar yang dimobilisasi dan pekerja reguler, 6.2000 karyawan
tewas. Kurang lebih 17.000–22.000 orang yang bekerja di pabrik perang
lainnya di Nagasaki juga tewas. Perkiraan korban tewas bervariasi mulai dari 22.000 sampai 75.000 jiwa.
[200][201][202]
Beberapa hari dan bulan setelah ledakan, banyak orang yang meninggal
akibat dampak bom. Karena terdapat pekerja asing tak resmi dan personel
militer transit di sana, perbedaan perkiraan total korban tewas pada
akhir 1945 sangat besar. Berbagai penelitian menyebutkan angka mulai
dari 39.000 sampai 80.000 jiwa.
[114][202]
Tidak seperti jumlah korban militer yang tewas di Hiroshima, hanya
150 tentara yang tewas seketika di Nagasaki, termasuk 36 tentara dari
Resimen AAA ke-134 dari Divisi AAA ke-4 Angkatan Darat Kekaisaran
Jepang. Sedikitnya delapan
tahanan perang
diketahui tewas akibat pengeboman ini dari total perkiraan 13 tahanan
perang tewas, termasuk seorang warga Britania, Kopral Angkatan Udara
Kerajaan
Ronald Shaw,
[204] dan tujuh tahanan perang Belanda.
[205] Seorang tahanan perang Amerika Serikat,
Joe Kieyoomia,
sedang berada di Nagasaki saat pengeboman terjadi, namun selamat karena
dilindungi oleh dinding penjara yang terbuat dari beton.
[206] 24 tahanan perang Australia di Nagasaki selamat.
[207]
Radius kehancuran total mencapai 1 mil (1.6 km). Kebakaran tersebar
dari wilayah utara kota sampai 2 mil (3.2 km) di selatan pusat ledakan.
[135][208]
Sekitar 58% Pabrik Senjata Mitsubishi dan 78% Pabrik Baja Mitsubishi
rusak. Pabrik Listrik Mitsubishi hanya mengalami 10% kerusakan
struktural karena terletak di batas zona kehancuran utama. Arsenal
Nagasaki luluh lantak akibat ledakan ini.
[209]
Rencana pengeboman atom selanjutnya
Berita Jepang menyebut Nagasaki "layaknya kuburan tanpa nisan"
Groves berharap ada pengeboman atom lagi pada
19 Agustus, tiga lagi sepanjang bulan September, dan tiga lainnya bulan Oktober.
[86] Pada tanggal
10 Agustus,
ia mengirim memorandum ke Marshall bahwa "bom selanjutnya ... harus
siap dijatuhkan pada hari cerah pertama setelah 17 atau 18 Agustus."
Pada hari yang sama, Marshall mengomentari memo tersebut: "Bom tersebut
tidak akan dijatuhkan di Jepang tanpa seizin Presiden."
[86]
Truman diam-diam meminta pengeboman lanjutan pada 10 Agustus.
Permintaan tersebut membatalkan perintah sebelumnya yang menyatakan
bahwa kota-kota target akan diserang bom atom "setelah bomnya siap".
[210]
Di Departemen Perang ada pembahasan seputar penghematan bom yang diproduksi untuk Operasi Downfall. "Masalahnya sekarang [
13 Agustus]
adalah bila Jepang tidak menyerah, apakah kita perlu menjatuhkan [bom
atom] terus-menerus tiap kali satu [bom] selesai dibuat dan dikirimkan
ke sana atau menahan diri ... lalu menjatuhkan semuanya dalam waktu
singkat. Bukan dalam satu hari, melainkan masa waktu yang singkat.
[Kita] perlu mempertimbangkan pula target yang hendak diserang. Dengan
kata lain, bukankah kita perlu berfokus pada target yang akan menjadi
bantuan terbesar bagi serbuan [Sekutu] alih-alih industri, moral,
psikologi, dan semacamnya? Lebih ke manfaat taktis daripada manfaat
lain."
[86]
Dua rakitan Fat Man sudah disiapkan dan dijadwalkan berangkat dari
Kirtland Field ke Tinian pada tanggal
11 Agustus dan
14 Agustus, dan Tibbets diminta LeMay kembali ke Albuquerque, New Mexico, untuk mengambilnya.
[212] Di Los Alamos, para teknisi bekerja 24 jam tanpa henti untuk membentuk
inti plutonium lainnya.
[213] Meski dibentuk, inti tersebut masih perlu dipadatkan dan dilapisi sampai tanggal
16 Agustus.
[214] Bom baru siap dipakai tanggal
19 Agustus. Namun demikian, karena tidak bisa menghubungi Marshall, Groves mengeluarkan perintah pada
13 Agustus bahwa inti bom tidak akan dikirimkan.
[210]
Penyerahan diri dan pendudukan Jepang
Sampai
9 Agustus, dewan perang Jepang masih kukuh dengan empat syarat penyerahan dirinya. Pada hari itu pula, Hirohito memerintahkan
Kōichi Kido
untuk "mengendalikan situasi dengan sigap ... karena Uni Soviet telah
menyatakan perang melawan kita." Lalu, ia mengadakan pertemuan
Kekaisaran dan meminta menteri
Shigenori Tōgō
memberitahu Sekutu bahwa Jepang akan menerima ketentuan penyerahan diri
Sekutu dengan satu syarat, ketentuan tersebut "tidak berisi tuntutan
yang melawan keputusan prerogatif Yang Mulia sebagai penguasa
berdaulat."
Pada tanggal
12 Agustus, Kaisar memberitahu keluarganya seputar keputusan menyerah. Salah satu pamannya,
Pangeran Asaka, kemudian bertanya apakah perang akan dilanjutkan bila
kokutai tidak bisa dipertahankan. Hirohito menjawab, "Tentu saja." Karena Sekutu membiarkan prinsip perlindungan Takhta Kekaisaran, Hirohito merekam
pengumuman penyerahan dirinya pada tanggal
14 Agustus dan baru disiarkan di seluruh Jepang keesokan harinya meski sempat ada
pemberontakan kecil oleh kaum militeris yang menolak untuk menyerah.
Dalam pernyataannya, Hirohito menyinggung pengeboman atom:
Selain itu, saat ini musuh telah memiliki senjata
baru dan mengerikan yang mampu melenyapkan nyawa orang-orang tak
bersalah dan menimbulkan kerusakan tak ternilai. Bila kita terus
melawan, bukan saja bangsa Jepang yang akan runtuh dan musnah, seluruh
peradaban umat manusia juga akan musnah. Apabila hal demikian terjadi,
bagaimana Kami menyelamatkan jutaan rakyat Kami, atau menyucikan diri
Kami di hadapan para ruh Leluhur Kekaisaran Kami? Ini sebabnya Kami
memerintahkan penerimaan syarat Deklarasi Bersama Negara-Negara
Penguasa.
[218]
Dalam "Pengumuman Kepada Tentara dan Pelaut" yang dikirimkan tanggal
17 Agustus, ia menekankan dampak serbuan Soviet atas keputusannya untuk menyerah dan tidak menyebutkan pengeboman apapun.
[219] Hirohito bertemu Jenderal MacArthur tanggal
27 September
dan mengatakan bahwa, "[p]erdamaian tidak tercipta sampai akhirnya
pengeboman Hiroshima menciptakan situasi yang mungkin dramatis." Selain
itu, pidato "Pengumuman Kepada Tentara dan Pelaut" yang ia sampaikan ke
MacArthur bersifat pribadi, bukan politis, dan tidak pernah menyatakan
bahwa campur tangan Soviet di Manchuria adalah alasan utama Jepang
menyerah. Faktanya, sehari setelah pengeboman Nagasaki dan serbuan
Soviet ke Manchuria, Hirohito memerintahkan para penasihatnya, terutama
Kepala Sekretaris Kabinet Hisatsune Sakomizu, Kawada Mizuho, dan
Masahiro Yasuoka, untuk menyusun pidato penyerahan diri. Dalam pidato Hirohito, beberapa hari sebelum disiarkan di radio tanggal
15 Agustus,
ia menyampaikan tiga alasan utama untuk menyerah: pertahanan Tokyo
tidak akan selesai diperkuat sebelum serbuan Amerika Serikat ke Jepang,
Kuil Ise
akan diduduki Amerika Serikat, dan senjata atom yang dikerahkan Amerika
Serikat akan memusnahkan seluruh ras Jepang. Meski intervensi Soviet
terjadi, Hirohito tidak menyebutkan Soviet sebagai salah satu faktor
utama penyerahan diri Jepang.
Penggambaran, tanggapan masyarakat, dan penyensoran
Kehidupan di antara reruntuhan Hiroshima bulan Maret dan April 1946.
Film direkam oleh Letnan Daniel A. McGovern (sutradara) dan Harry Mimura
(kamerawan) untuk proyek
United States Strategic Bombing Survey.
Semasa perang, "ujaran anihilasionis dan eksterminasionalis"
dibiarkan di seluruh lapisan masyarakat Amerika Serikat; menurut
kedutaan besar Britania Raya di Washington, rakyat A.S. memandang rakyat
Jepang sebagai "sekumpulan kutu tanpa nama". Karikatur yang menggambarkan orang Jepang bukan manusia, e.g. monyet, sudah biasa waktu itu.
Jajak pendapat tahun 1944 soal tindakan yang harus diambil terhadap
Jepang menunjukkan bahwa 13% masyarakat A.S. mendukung "pembunuhan"
semua pria, wanita, dan anak-anak Jepang.
Setelah bom Hiroshima berhasil meledak, Robert Oppenheimer
menyampaikan pidato di Los Alamos "sambil mendekapkan tangannya layaknya
juara tinju". Vatikan tidak menanggapi dengan baik pengeboman tersebut; surat kabar
L'Osservatore Romano menyatakan bahwa Vatikan kecewa karena para penemu bom tidak menghancurkan senjata tersebut demi kemaslahatan umat manusia.
[225] Namun demikian, kabar pengeboman atom disambut meriah di A.S.; jajak pendapat di
majalah Fortune pada akhir 1945 memperlihatkan bahwa sebagian kecil rakyat Amerika Serikat (22,7%) berharap bom atom dijatuhkan lagi di Jepang. Tanggapan positif ini dibantu oleh citra yang diperlihatkan kepada masyarakat (terutama foto
awan jamur yang dahsyat) dan penyensoran foto yang menampilkan mayat dan korban selamat yang cacat.
Wilfred Burchett
adalah wartawan pertama yang mengunjungi Hiroshima setelah bom
diledakkan. Ia tiba sendirian menggunakan kereta api dari Tokyo pada
tanggal
2 September, hari penyerahan diri resmi di atas kapal
USS Missouri. Pesan
kode Morse-nya dicetak oleh harian
Daily Express di London tanggal
5 September 1945 dengan judul "The Atomic Plague". Ini merupakan laporan publik pertama yang menyebutkan dampak
radiasi dan
sisa nuklir. Laporan Burchett tidak populer di kalangan militer Amerika Serikat. Badan sensor A.S. membungkam berita yang dikirimkan
George Weller dari
Chicago Daily News,
dan menuduh Burchett terkena propaganda Jepang. Laurence mengatakan
bahwa laporan penyakit radiasi tersebut adalah upaya Jepang untuk
menjatuhkan semangat Amerika Serikat. Ia juga mengabaikan kesaksiannya
sendiri mengenai penyakit radiasi Hiroshima yang diterbitkan satu pekan
kemudian.
[229]
Reruntuhan Hiroshima bulan Maret dan April 1946, direkam oleh Daniel A. McGovern dan Harry Mimura
Seorang anggota U.S.
Strategic Bombing Survey, Letnan Daniel McGovern, membawa awak film untuk mendokumentasikan hasil pengeboman pada awal 1946.
[230] Hasil rekaman mereka dijadikan film dokumenter berdurasi tiga jam berjudul
The Effects of the Atomic Bombs Against Hiroshima and Nagasaki.
Dokumenter ini menyertakan foto-foto dari rumah sakit yang menampilkan
dampak bom terhadap tubuh manusia. Film ini juga menampilkan bangunan
dan mobil terbakar, dan barisan tengkorak dan tulang di tanah. Film ini
"dirahasiakan" pemerintah selama 22 tahun. Waktu itu redaktur di Amerika Serikat sudah biasa menyensor foto orang mati dari film, majalah, dan surat kabar. Film sepanjang 90,000 ft (27,000 m) yang direkam oleh tim kamerawan McGovern belum dirilis sepenuhnya pada tahun 2009. Menurut
Greg Mitchell, lewat film dokumenter
Original Child Bomb
(2014), sebagian kecil rekaman tersebut berhasil ditunjukkan kepada
rakyat Amerika Serikat "secara telanjang dan nyata sesuai yang
dikehendaki para pembuatnya".
[230]
Perusahaan film Nippon Eigasha mulai mengirimkan kamerawan ke Nagasaki dan Hiroshima bulan September 1945. Pada tanggal
24 Oktober 1945, seorang
polisi militer A.S.
menghentikan aktivitas perekaman oleh kamerawan Nippon Eigasha di
Nagasaki. Seluruh film Nippon Eigasha disita oleh pemerintah Amerika
Serikat. Film ini akhirnya dikembalikan atas permintaan pemerintah
Jepang, dilepaskan ke publik, dan diselamatkan. Sejumlah film
hitam-putih dirilis dan ditayangkan untuk pertama kalinya di Jepang dan
Amerika Serikat pada tahun 1968 sampai 1970.
[230] Penayangan rekaman kota pascaserangan dan penelitian dampak bom atom terhadap manusia dilarang semasa
pendudukan Jepang. Sebagian besar informasi tersebut disensor sampai
Perjanjian Perdamaian San Francisco yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan ke pihak Jepang ditandatangani pada tahun 1951.
Hanya
informasi dampak senjata nuklir
paling sensitif dan rinci yang disensor pada waktu itu. Tidak ada
sensor untuk kesaksian yang ditulis sesuai kenyataan. Misalnya, buku
Hiroshima yang ditulis oleh pemenang
Hadiah Pulitzer John Hersey (awalnya diterbitkan dalam bentuk artikel di majalah
The New Yorker)
[234] tanggal
31 Agustus 1946, kabarnya diedarkan dalam bahasa Inggris di Tokyo pada Januari 1947 dan diterjemahkan ke bahasa Jepang tahun 1949.
[235][237] Buku ini menceritakan kisah enam korban selamat sebelum pengeboman sampai beberapa bulan setelah bom Little Boy dijatuhkan.
[234]
Korban pascaserangan
Film yang direkam di Hiroshima bulan Maret 1946 menampilkan korban penderita luka bakar parah
Pada musim semi 1948,
Atomic Bomb Casualty Commission (ABCC) didirikan berdasarkan keputusan presiden Truman kepada
National Academy of Sciences –
National Research Council dengan tujuan melakukan penyelidikan mengenai dampak radiasi terhadap penyintas di Hiroshima dan Nagasaki.
[238] Salah satu penelitian pertama yang dilakukan ABCC adalah kehamilan di Hiroshima dan Nagasaki, dan di kota
kendali Kure yang terletak 18 mil (29 km) di selatan Hiroshima, untuk mempelajari kondisi dan hasil kehamilan akibat paparan radiasi.
[239] Penelitian yang dipimpin Dr.
James V. Neel ini menemukan bahwa jumlah
kecacatan kelahiran di kalangan anak-anak penyintas yang hamil saat pengeboman tidak terlalu tinggi.
[240] National Academy of Sciences mempertanyakan prosedur Neel yang tidak menyaring populasi Kure atas dugaan paparan radiasi. Di antara kecacatan kelahiran yang diamati peneliti, jumlah kasus malformasi otak di Nagasaki dan Hiroshima, termasuk
mikroensefalus dan
anensefali, lebih banyak 2,75 kali lipat daripada jumlah kasus di Kure.
[243]
Pada tahun 1985, genetikawan manusia dari
Universitas Johns Hopkins James F. Crow mempelajari penelitian Neel dan membenarkan bahwa jumlah kecacatan kelahiran di Hiroshima dan Nagasaki tidak terlalu tinggi. Banyak anggota ABCC dan penggantinya,
Radiation Effects Research Foundation
(RERF), yang masih mencari potensi kecacatan kelahiran atau penyebab
lain di kalangan penyintas beberapa puluh tahun kemudian, namun gagal
menemukan bukti persebaran kecacatan di kalangan penyintas.
[245][246] Meski penelitian Neel menemukan sedikitnya jumlah kecacatan kelahiran, sejarawan
Ronald E. Powaski
menulis bahwa Hiroshima mengalami "peningkatan jumlah kelahiran mati,
kecacatan kelahiran, dan kematian bayi" setelah pengeboman atom.
Neel juga meneliti masa hidup anak-anak yang selamat dari pengeboman
Hiroshima dan Nagasaki. Ia melaporkan bahwa antara 90 sampai 95 persen
anak-anak tersebut masih hidup 50 tahun kemudian.
[245]
Sekitar 1.900 korban tewas akibat kanker dapat ditelusuri penyebabnya pada efek bom atom. Kajian
epidemiologi
oleh RERF menyatakan bahwa sejak tahun 1950 sampai 2000, 46% penderita
leukemia yang meninggal dan 11% penderita kanker padat yang meninggal di
kalangan
penyintas bom diakibatkan oleh radiasi bom. Persentase tersebut mewakili 200 penderita leukemia dan 1.700 penderita kanker padat.
[248]
Hibakusha
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
Hibakusha
Panorama monumen yang menandai hiposentrum atau titik nol ledakan bom atom di langit Nagasaki
Para penyintas (korban selamat) pengeboman atom disebut
hibakusha (被爆者?, pengucapan bahasa Jepang: [çiβa̠kɯ̥ᵝɕʲa̠]), kata berbahasa Jepang yang secara harafiah berarti "orang terdampak ledakan". Per 31 Maret 2015, 183.519
hibakusha diakui oleh pemerintah Jepang; sebagian besar di antaranya menetap di Jepang.
[249] Pemerintah Jepang mengakui bahwa 1% di antara mereka menderita penyakit yang diakibatkan oleh radiasi.
[250] Tugu peringatan di Hiroshima dan Nagasaki bertuliskan daftar nama para
hibakusha yang diketahui meninggal setelah pengeboman. Nama
hibakusha terus bertambah setiap tahunnya pada tanggal peringatan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Pada Agustus 2015, di tugu ini tercantum lebih dari 460.000 nama
hibakusha; 297.684 di Hiroshima
[251] dan 168.767 di Nagasaki.
[252]
Hibakusha bersama anak-anaknya merupakan (dan masih menjadi) korban diskriminasi di Jepang karena masyarakat tidak tahu akibat dari
penyakit radiasi. Sebagian besar masyarakat Jepang percaya bahwa penyakit radiasi dapat diturunkan dan bahkan menular.
[253]
Diskriminasi tetap terjadi walaupun sebenarnya tidak ada kenaikan
jumlah kecacatan kelahiran atau malformasi kongenital di kalangan
anak-anak yang dilahirkan oleh penyintas pengeboman Hiroshima dan
Nagasaki.
[254]
Penelitian dampak psikologis jangka panjang terhadap para penyintas
menemukan bahwa meski 17–20 tahun sudah berlalu sejak pengeboman,
kemungkinan gejala
kegelisahan dan
somatisasi di kalangan penyintas justru lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.
[255]
Penyintas ganda
Pada tanggal
24 Maret 2009, pemerintah Jepang secara resmi mengakui
Tsutomu Yamaguchi sebagai
hibakusha
ganda. Ia diketahui sedang dalam perjalanan bisnis dan berada 3 km
(1.9 mil) dari titik nol di Hiroshima saat Little Boy meledak. Ia
mengalami luka bakar serius di sisi kirinya dan menginap di Hiroshima.
Ia tiba di kota asalnya, Nagasaki, tanggal
8 Agustus,
sehari sebelum Fat Man dijatuhkan. Ia terpapar sisa radiasi saat seadng
mencari kerabat keluarganya. Ia merupakan penyintas dua pengeboman atom
pertama yang secara resmi diakui pemerintah Jepang.
[256] Yamaguchi meninggal dunia tanggal
4 Januari 2010 pada usia 93 tahun setelah berjuang melawan kanker perut.
[257]
Film dokumenter
Twice Survived: The Doubly Atomic Bombed of Hiroshima and Nagasaki (2006) mendokumentasikan 165
nijū hibakusha (korban terdampak ledakan ganda) dan ditayangkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
[258]
Penyintas Korea
Semasa perang, Jepang membawa kurang lebih 670.000 penduduk Korea ke Jepang untuk dijadikan
tenaga kerja paksa.
Sekitar 20.000 orang Korea tewas di Hiroshima dan 2.000 lainnya tewas
di Nagasaki. Satu dari tujuh korban Hiroshima diperkirakan merupakan
keturunan Korea. Selama sekian tahun, etnis Korea kesulitan mendapatkan
pengakuan sebagai korban bom atom dan tidak mendapat tunjangan
kesehatan. Sebagian besar kasus ini diselesaikan lewat tuntutan hukum.
[260]
Perdebatan seputar pengeboman
Bom atom bukan saja senjata penghancur yang mengerikan; [bom atom juga] merupakan senjata psikologis.
—Henry L. Stimson, 1947
[261]
Warga Hiroshima berjalan melewati Tugu Perdamaian Hiroshima, gedung terdekat dari titik nol yang selamat dari ledakan bom atom
Peran pengeboman dalam
penyerahan diri Jepang
dan pembenaran etis oleh Amerika Serikat telah menjadi topik perdebatan
di kalangan ilmuwan dan masyarakat selama bertahun-tahun. J. Samuel
Walker menulis dalam tinjauan historiografinya bulan April 2005,
"kontroversi seputar penggunaan bom tampaknya masih akan terus
berlanjut." Ia menulis bahwa, "permasalahan mendasar yang memecah belah
para ilmuwan selama nyaris empat puluh tahun adalah perlu tidaknya
penggunaan bom demi meraih kemenangan perang di Pasifik sesuai yang
diinginkan Amerika Serikat."
Para pendukung umumnya menegaskan bahwa kedua peristiwa pengeboman
memicu penyerahan diri Jepang dan mencegah jatuhnya korban di kedua sisi
pada masa Operasi Downfall. Salah satu kalimat terkenal, "Seratus juta
orang [penduduk Kekaisaran Jepang] siap mati untuk Kaisar dan
Bangsanya,"
[263] berfungsi sebagai slogan pemersatu bangsa, namun kalimat tersebut sebenarnya merupakan pendamping frasa "
sepuluh ribu tahun". Dalam
Memoirs
yang ditulis Truman tahun 1955, "ia menyatakan bahwa bom atom mungkin
telah menyelamatkan setengah juta prajurit Amerika Serikat—perkiraan
jumlah korban serbuan Sekutu ke Jepang yang rencananya dilaksanakan
bulan November. Stimson berbicara soal menyelamatkan satu juga prajurit
A.S., dan Churchil berbicara soal menyelamatkan satu juta prajurit A.S.
dan setengah juta prajurit Britania."
Para ilmuwan memaparkan sejumlah skenario alternatif yang dapat
mengakhiri perang tanpa invasi, tetapi skenario tersebut malah akan
menewaskan banyak warga Jepang. Para pendukung juga merujuk pada perintah Kementerian Perang Jepang tanggal
1 Agustus 1944 yang memerintahkan eksekusi tahanan perang Sekutu apabila perkemahan tahanan perang berubah menjadi zona tempur.
[267]
Para penentang pengeboman menyebutkan beberapa alasan: keyakinan
bahwa bom atom pada dasarnya tidak bermoral, pengeboman dapat
dikategorikan sebagai kejahatan perang, pengeboman atom tidak perlu
dilakukan dari sudut pandang militer, pengeboman atom tergolong
terorisme negara,
dan pengeboman dipicu oleh rasisme dan dehumanisasi terhadap bangsa
Jepang. Pandangan lainnya yang populer di kalangan kritikus pengeboman
dipaparkan oleh
Gar Alperovitz
pada tahun 1965 dan menjadi pendapat tetap di buku-buku teks sejarah
sekolah Jepang. Pandangan tersebut menjelaskan diplomasi atom: Amerika
Serikat memakai senjata nuklir untuk mengintimidasi Uni Soviet pada
tahap-tahap awal
Perang Dingin.
[269]
Pengeboman atom merupakan bagian dari kampanye pengeboman biasa
(konvensional) yang sama parahnya. Pengeboman biasa dibarengi
pemblokiran laut dan kejatuhan Jerman (yang mengakibatkan perpindahan
pasukan) akan membuat Jepang menyerah pada akhirnya. Ketika Amerika
Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki tanggal
9 Agustus 1945, Uni Soviet melancarkan
serangan kejutan yang melibatkan 1,6 juta tentara melawan Tentara Kwantung di Manchuria. Menurut sejarawan Jepang,
Tsuyoshi Hasegawa,
"masuknya Soviet ke kancah perang memainkan peran yang lebih besar
dalam penyerahan diri Jepang daripada pengeboman atom karena [serbuan
Soviet] memupuskan harapan Jepang untuk mengakhiri perang lewat mediasi
Moskwa".
[270]